Kamis, 22 Juli 2010
TATTOO ANTARA POLITIK DAN KEINDAHAN TUBUH
Link : Indonesian Cubculture
Nuraini Juliastuti dan Antariksa
Pada sistem budaya yang berlainan, tatto mempunyai makna dan fungsi yang berbeda-beda. Di Indonesia sendiri, pernah ada masa dimana tatto dianggap sebagai sesuatu yang buruk. Orang-orang yang memakai tatto dianggap identik dengan penjahat, gali dan orang nakal. Pokoknya golongan orang-orang yang hidup di jalan dan selalu dianggap mengacau ketentraman masyarakat.
Anggapan negatif seperti ini secara tidak langsung mendapat “pengesahan” ketika pada tahun 80-an terjadi pembunuhan misterius terhadap ribuan orang gali (penjahat kambuhan) di berbagai kota di Indonesia. Soeharto (mantan presiden) dalam otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (PT. Citra Lamtorogung Persada, Jakarta, 1989) , mengatakan bahwa petrus (penembakan misterius) itu memang sengaja dilakukan sebagai treatment, tindakan tegas terhadap orang-orang jahat yang suka mengganggu ketentraman masyarakat.
Bagaimana cara mengetahui bahwa seseorang itu penjahat dan layak dibunuh? Brita L. Miklouho-Maklai dalam Menguak Luka Masyarakat: Beberapa Aspek Seni Rupa Indonesia Sejak Tahun 1966 (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997) menyebutkan bahwa para penjahat kambuhan itu kebanyakan diidentifikasi melalui tatto, untuk kemudian ditembak secara rahasia, lalu mayatnya ditaruh dalam karung dan dibuang di sembarang tempat seperti sampah.
Tidak semua orang bertatto itu penjahat memang. Tapi mengapa sampai terjadi generalisasi seperti itu? Apa kira-kira dasar alasannya? Apakah dulu kebetulan pernah ada seorang penjahat besar yang punya tatto dan itu lalu dipakai sebagai ciri untuk menggeneralisir bahwa semua orang yang bertatto pasti penjahat juga? Sayangnya belum ada studi mendalam yang bisa menguak pergeseran makna tatto dari ukiran dekoratif sebagai penghias tubuh dan simbol-simbol tertentu menjadi tanda cap bagi para penjahat.
Tapi yang jelas telah terjadi “politisasi tubuh”. Tubuh dipolitisir, dijadikan alat kendali untuk kepentingan negara. Dalam kasus petrus di Indonesia, tubuh yang bertatto dipakai sebagai alat kendali, suatu alasan untuk menjaga stabilitas negara. Untuk tingkat dunia, bisa disebut beberapa contoh kasus politik tubuh besar sepanjang sejarah peradaban manusia. Orang-orang kulit putih menerapkan sistem politik apartheid di Afrika Selatan hanya karena orang-orang Afrika “berkulit hitam”. Dari Jerman, Hitler dengan Nazi-nya membantai orang-orang Yahudi hanya karena di dalam tubuh orang Yahudi tidak mengalir darah Arya, darah tubuh manusia yang paling sempurna yang pernah diciptakan Tuhan di bumi ini menurut Hitler.
Sebelum tatto dianggap sebagai sesuatu yang modis, trendi dan fashionable seperti sekarang ini, tatto memang dekat dengan budaya pemberontakan. Anggapan negatif masyarakat tentang tatto dan larangan memakai rajah atau tatto bagi penganut agama tertentu semakin menyempurnakan imej tatto sebagai sesuatu yang: dilarang, haram, dan tidak boleh. Maka memakai tatto sama dengan memberontak terhadap tatanan nilai sosial yang ada, sama dengan membebaskan diri terhadap segala tabu dan norma-norma masyarakat yang membelenggu. Prang-orang yang dipinggirkan oleh masyarakat memakai tatto sebagai simbol pemberontakan dan eksistensi diri. Anak-anak yang disingkirkan oleh keluarga memakai tatto sebagai simbol pembebasan…
Setiap jaman melahirkan konstruksi tubuhnya sendiri-sendiri. Dulu tatto dianggap jelek, sekarang tatto dianggap sebagai sesuatu yang modis dan trendi. Kalau era ini berakhir, entah tatto akan dianggap sebagai apa. Mungkin status kelas sosial, mungkin sekedar perhiasan, atau yang lain.
dikutip dari:http://riyano.wordpress.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar