Selasa, 20 Juli 2010
Tato pada Masyarakat Mentawai
TATO bagi masyarakat modern mungkin lebih condong mengandung unsur seni keindahan tubuh. Namun, tidak cukup demikian bagi masyarakat adat di Tanah Air yang juga sudah mengenal tato sejak dahulu kala. Dalam masyarakat Dayak, tato merupakan tradisi yang diperlakukan turun-temurun. Di Kalimantan Barat, wanita Dayak Kayan dan Kenyah mengenakan lebih banyak tato pada tangan dan kakinya untuk mempercantik diri.
Lain halnya bagi orang Mentawai, tato tak hanya berfungsi untuk keindahan tubuh, tetapi juga lambang yang menunjukkan posisi atau derajat orang yangmemakainya. Tato yang oleh orang Mentawai disebut titi mulai dikenal sejak orang Mentawai datang antara tahun 1.500 sampai 500 SM. Mereka adalah suku bangsa protomelayu yang datang dari Yunan, kemudian berbaur dengan budaya Dongson.
Hasil penelitian Ady Rosa berjudul Fungsi dan Makna Tato Mentawai menyimpulkan, ada tiga fungsi tato bagi orang Mentawai. Pertama, sebagai tanda-kenal wilayah dan kesukuan, atau semacam kartu tanda penduduk (KTP). Kedua, sebagai status sosial dan profesi. Motif yang digambarkan tato ini menjelaskan profesi si pemakai, misalnya sikerei (tabib dan dukun), pemburu binatang, atau orang awam. Terakhir, sebagai hiasan tubuh atau keindahan. Ini tergambar lewat mutu dan kekuatan ekspresi si pembuat tato (disebut sipatiti) melalui gambar-gambar yang indah.
Di Mentawai diperkirakan ada sekitar 160 motif tato yang masing-masing berbeda. Setiap orang Mentawai, baik laki-laki maupun perempuan, bisa memakai belasan tato di sekujur tubuhnya. Pembuatan tato sendiri melewati proses ritual, karena bagian dari kepercayaan Arat Sabulungan (kepercayaan kepada roh-roh). Bahan-bahan dan alat yang digunakan didapat dari alamsekitarnya.
Hanya jarum yang digunakan untuk merajah yang merupakan besi dari luar. Sebelum ada jarum, alat pentato yang dipakai adalah sejenis kayu karai, tumbuhan asli Mentawai yang bagian ujungnya diruncingkan. Sipatiti adalah seorang lelaki, tidak boleh perempuan. Sebelum pembuatan tato, harus diadakan punen patiti (upacara pentatoan) yang dipimpin sikerei.
Upacara yang dilakukan dengan menyembelih beberapa ekor babi ini harus dibiayai orang yang di tato dan dilakukan pada awal pentatoan. Membuat tato di Mentawai dilakukandalam tiga tahap. Tahap pertama pada saat seseorang berusia 11-12 tahun, pentatoan dilakukan di bagian pangkal lengan. Tahap kedua usia 18-19 tahun dengan menato bagian paha. Tahap ketiga dilakukan setelah dewasa.
Proses pembuatan tato memakan waktu dan diulang-ulang. Tentu saja hal itu menimbulkan rasa sakit dan bahkan menyebabkan demam. Seiring masuknya pengaruh budaya Kristen dan Islam di Mentawai, tradisi bertato saat ini mulai ditinggalkan. Jika dulu orang yang bertato dianggap sebagai lambang orang yang sehat dan kuat di Mentawai, kini anggapan itu sudah bias. (*/M-l)
dikutip dari: http://bataviase.co.id/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar